SEBAGAI MAHASISWA PENYULUH PERTANIAN YANG NANTINYA AKAN TERJUN DI MASYARAKAT DALAM MEMBERIKAN PENGARAHAN KEPADA PETANI, HARUSLAH MEMILIKI PENGETAHUAN DAN PENGALAMAN YANG CUKUP BAGAIMANA CARA MENYULUH YANG BAIK DI LAPANGAN, SEHINGGA PENYULUH ITU BENAR-BENAR MENJADI MOTIVATOR YANG BAIK DI MASYARAKAT

Minggu, 06 Oktober 2013

INOVASI TEKNOLOGI PADA LAHAN KERING



INOVASI TEKNOLOGI PADA LAHAN KERING

LATAR BELAKANG
Kebijakan sentralistiprogram pembangunan pertanian pada padi sawah selama periode 1969 -1997 (Pelita I-VI), menyebabkan usahatani lahan kering kurang mendapat perhatian. Sementara itu, proyek-proyek pembangunan pertanian lahan kering telah banyak dilaksanakan tetapi tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, dimana penyebabnya antara lain adalah tidak berkembangnya kemandirian masyarakat dan pembinaan yang tidak berkesinambungan. Hal ini menyebabkan sistem usahatani lahan kering semakin tertinggal, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian hulu. Ketimpangan pengelolaan dan penanganan permasalahan lahan kering antara lain mencakup:
1.      Input usahatani konservasi terbatas sehingga memicu degradasi lahan dan menyebabkan produktivitas rendah,
2.      Pengelolaan lahan yang tidak dilandasi pengetahuan tentang kesesuaian dan kemampuannya, dan
3.      Pertambahan jumlah penduduk sehingga mendorong petani untuk mengusahakan lahan kering berlereng di DAS hulu yang rentan terhadap erosi.
Pengelolaan lahan kering perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya semakin meningkat sekaligus mendukung pemantapan ketahanan pangan. Penduduk Indonesia bertambah sekitar 1,34% pertahun (BPS, 2006), sementara di pihak lain terdapat perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke beras, terjadi peningkatan konversi lahan sawah irigasi untuk kepentingan non pertanian, dan tingkat produktivitas padi sawah mengalami pelandaian (levelling off). Dalam kurun waktu 1981-1999 telah terjadi alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lahan non sawah seluas 1,6 juta ha (Irawan et al., 2001). Bila diasumsikan produktivitas lahan sawah sebesar 6,0 t/ha gabah kering panen (GKP), maka telah terjadi kehilangan produksi sebanyak 9,6 juta ton GKP/tahun (Agus et al., 2004). Permasalahan pengurangan produksi pangan ini perlu diatasi dengan usaha peningkatan produktivitas lahan sawah yang ada, pencetakan lahan sawah baru, dan pengelolaan serta pengembangan lahan potensial lainnya termasuk lahan kering yang masih cukup luas.
Istilah lahan kering seringkali digunakan untuk padanan upland, dryland atau unirrigated land. Kedua istilah terakhir mengisyaratkan pengunaan lahan untuk pertanian tadah hujan. Upland menunjukkan lahan yang berada di suatu wilayah berkedudukan lebih tinggi yang diusahakan tanpa penggenangan air seperti lahan padi sawah (Notohadinegoro, 2000). Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada seba- gian besar waktu dalam setahun (Adimihardja et al., 2000). Penggunaan lahan kering untuk pertanian di Indonesia pada umumnya dikelompokkan untuk pekarangan, tegalan/kebun/ladang, padang rumput, perkebunan, tanaman kayu-kayuan, dan lahan tidak diusahakan. Lahan kering untuk perkebunan yang belum dikelola seluas ± 12,2 juta ha, tegalan/kebun/ladang seluas ± 9,7 juta ha (Dirjen Perkebunan, 2001). Lahan kering yang belum diusahakan ternyata masih luas, yang disertai indeks pertanaman yang rendah terutama di luar P. Jawa, menunjukkan bahwa sebagian lahan belum dikelola secara benar.
Pengelolaan sumberdaya lahan kering merupakan suatu cara pengelolaan bagian lingkungan hidup untuk mendapatkan kesejahteraan bagi manusia. Pengelolaan sumberdaya lahan harus dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan bahwa proses pembangunan yang sedang dan akan dilakukan di Indonesia masih tergantung pada cara memanfaatkan potensi sumberdaya lahannya. Sumberdaya lahan kering dengan segala anasir (component) di dalamnya termasuk tanah, batuan, lereng, air, dan biota harus dikelola dengan baik agar mendapatkan manfaat yang optimal dan berkesinambungan antar penggunaannya.
Memasuki era millenium ke-3 saat ini perlu dirumuskan kembali paradigma dan konsepsi tentang pengelolaan sumberdaya alam termasuk reformasi pengelolaan lahan kering. Reformasi pengelolaan lahan kering antara lain meliputi berbagai gatra (aspect): lahan kering sebagai sistem pendukung utama kehidupan manusia, penggunaan teknologi sumberdaya lahan, kebijakan, kelembagaan/pranata, dan tata ruang pendayagunaannya. Reformasi pengelolaan lahan kering ini mutlak perlu dilaksanakan guna mendukung dan sekaligus memantapkan swasembada pangan di Indonesia. Makalah ini akan membahas teknologi dan kebijakan yang perlu dilaksanakan pada pengelolaan lahan kering untuk memantapkan swasembada pangan nasional

PERMASALAHAN LAHAN KERING
Permasalahan utama yang perlu mendapat perhatian khusus pada lahan kering adalah konservasi lahan kering dan kendala produksi.


Konservasi lahan kering
Multifungsi pertanian lahan kering perlu dilihat dalam konteks dimensi yang lebih luas, yaitu
selain sebagai penyedia bahan pangan juga mempunyai jasa atau manfaat terhadap lingkungan, baik lingkungan biofisik dan kimia maupun sosial-ekonomi (Agus et al., 2003; Yoshida, 2001; Eom and Kang, 2001; Suh, 2001). Sebagai penghasil pertanian, lahan kering berkontribusi dalam ketahanan pangan, penyangga ekonomi, nilai sosial dan budaya (Irawan et al., 2004). Sebagai penyedia jasa ekosistem/lingkungan, lahan kering berfungsi dalam pengendalian erosi, mitigasi banjir, keanekaragaman hayati dan pendaur ulang bahan organik (Notohadinegoro, 2000; Agus et al., 2004). Tanah berkemampuan membersihkan limbah dari bahan atau zat-zat pencemar yang dikandungnya dengan jalan menyaring, menyerap, dan atau mengurai. Dengan demikian tanah berkesanggupan untuk bertindak sebagai faktor sanitasi lingkungan hidup (Notohadinegoro, 2000).
Kebijakan pembangunan lahan kering yang sebagian besar wilayahnya berlereng > 15%, perlu mempertimbangkan multi fungsi pertanian dan lingkungan hidup.Kebijakan pembangunan yang tidak memihak kepada pertanian akan mengganggu stabilitas ketahanan pangan, memperburuk kualitas lingkungan, dan berdampak buruk terhadap stabilitas ekonomi, sosial dan politik (Fagi dan Las, 2006). Untuk keterlanjutan perikehidupan dan menjamin kesejahteraannya, manusia tidak mungkin mengabaikan upaya mencegah degradasi berbagai fungsi tana.
Kendala produksi
Kendala produksi di lahan kering adalah kondisi fisik lahan (kedalaman tanah relatif dangkal, sebagian horizon A atau B hilang tererosi, lereng curam, kekeringan, teknologi (penerapan teknik konservasi yang lemah), dan sosial ekonomi (ketiadaan modal untuk menerapkan teknologi anjuran dan tiadanya subsidi dan kredit bagi petani pelaksana teknologi konservasi). Agregat dari kendala fisik, teknologi, dan sosial ekonomi tersebut adalah produktivitas lahan rendah. Biaya untuk meningkatkan produktivitas lahan meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, dan yang dikhawatirkan adalah ketidakstabilan ekonomi, sosial, dan politik (Fagi dan Las, 2006). Oleh karena itu pengelolaan lahan kering yang tepat dan mengarah pada peningkatan produksi yang berkesinambungan mutlak perlu dilakukan. Upaya-upaya pengendalian erosi dan perbaikan produktivitas lahan kering telah dirintis oleh instansi-instansi terkait dan perguruan tinggi, yang walaupun bersifat parsial namun hasilnya cukup prospektif.


PEMANFAATAN SUMBERDAYA DAN TEKNOLOGI
Curah hujan
Pertumbuhan tanaman di lahan kering secara langsung dipengaruhi oleh faktor iklim terutama curah hujan. Berbeda dengan padi sawah, yang lingkungan tumbuhnya selalu tergenang air. Di lahan kering seringkali mendapat berbagai tekanan (stress) karena kekeringan, keracunan dan kekahatan berbagai unsur-unsur hara, selain gangguan berbagai penyakit dan gulma. Curah hujan tahunan di lahan kering berkisar antara 1.200-3.000 mm. Bulan kering umumnya terjadi antara bulan Mei sampai dengan Oktober, dan zone agroklimatnya termasuk B-2, C-3, D-4, E-1, dan E-3. Jumlah dan sebaran hujan merupakan komponen iklim yang amat penting yang mencirikan kesesuaian suatu lingkungan untuk pertumbuhan tanaman. Ketersediaan air untuk tanaman tergantung pula pada sifat fisik tanah, terutama daya memegang airnya. Oleh karena itu, pada lahan kering curah hujan dan kapasitas tanah memegang air merupakan salahsatu faktor yang menentukan keberhasilan produksi pangan. Untuk mengatasi masalah ini antara lain dengan penggunaan varietas unggul berumur genjah, saat tanam yang tepat dan membuat konservasi air permukaan berupa embung/waduk kecil.
Curah hujan dapat dimanfaatkan secara seksama di lahan-lahan kering, lebih baik lagi jika dimanfaatkan secara efisien sehingga dapat mendukung proses produksi tanaman pangan semusim selama 2 musim tanam, dengan asumsi bahwa kebutuhan air tanaman pangan sebesar 120 mm/bulan. Mengingat sebagian besar lahan kering di Indonesia bercurah hujan antara 1.500 sampai 2.000 mm/tahun, maka potensi ini cukup berpeluang untuk memenuhi kebutuhan tanaman pangan.
Pengendalian erosi tanah
Pengendalian erosi tanah pada lahan kering dapat dilakukan dengan usahatani konservasi. Penerapan teknik konservasi tanah berperan penting dalam meningkatkan produktivitas lahan, memperbaiki sifat lahan yang rusak, dan upayaupaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Pemakaian istilah konservasi tanah seringkali diikuti dengan istilah konservasi air. Meskipun keduanya berbeda tetapi saling terkait. Sasaran konservasi tanah adalah meliputi keseluruhan sumberdaya lahan yang merangkum kelestarian tanah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mendukung keseimbangan ekosistem.
Pada dasarnya teknik konservasi tanah dibedakan menjadi tiga cara (Arsyad, 1989; Notohadiprawiro, 1978; Subagyono et al., 2003) yaitu :
a) Teknik konservasi tanah secara mekanik,
b) Teknik konservasi tanah secara vegetatif, dan
c) Teknik konservasi tanah secara kimiawi.
Teknik konservasi tanah secara mekanik adalah upaya menciptakan fisik lahan atau bidang lahan pertanian sehingga sesuai dengan kaidah  konservasi tanah dan air. Teknik ini meliputi pembuatan teras (bangku, individu, kredit), guludan dan pematang searah kontur dan sebagainya (Agus et al., 1999). Untuk meningkatkan pemanenan air (water harvesting) dibuatkan bangunan resapan air, embung dan rorak. Teras bangku telah lama dikenal dan dipraktekkan petani di Indonesia. Meskipun biaya pembuatan teras bangku lebih mahal dibandingkan teras gulud, namun dari kemampuannya (menekan air aliran permukaan, menahan genangan air, dan memfasilitasi perkolasi) lebih baik dibandingkan dengan teras gulud.
Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah penggunaan tanaman maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran limpas permukaan (run off), peningkatan kadar lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Teknik konservasi tanah secara kimiawi adalah penggunaan bahan kimia, baik organik maupun anorganik, yang bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dalam menekan laju erosi. Teknik ini jarang digunakan karena tergolong mahal dan hasilnya hampir sama dengan penggunaan bahanbahan alami. Bahan kimiawi yang termasuk dalamkategori ini adalah bahan pembenah tanah (soil conditioner).
Penggunaan teknologi sumberdaya lahan untuk mengendalikan erosi dan meningkatkan produktivitas lahan kering, yang relatif mudah dilakukan petani adalah penggunaan bahan organik. Peranan mulsa, limbah organik, kompos dan pupuk kandang (bahan organik) dapat mengendalikan erosi tanah, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dan meningkatkan produksi tanaman. Penggunaan mulsa dari berbagai macam bahan antara lain sisa-sisa tanaman di lahan-lahan pertanian lahan kering ditujukan untuk melindungi tanah dari pengaruh gaya luar berupa pukulan butir-butir hujan yang dapat merusak kesuburan tanah maupun perakaran tanaman. Peranan sisa-sisa tanaman yang digunakan sebagai mulsa di lahan-lahan pertanian terutama pada lahan kering telah cukup banyak diteliti. Hasil penelitian Constantinensco (1976) dan Suwardjo (1981) menyatakan bahwa sisa-sisa tanaman dari sisa panen dapat mengurangi pengaruh pukulan butir-butir hujan, mengurangi penyumbatan poripori tanah dan memperkecil pengikisan lapisan permukaan tanah atas (topsoil). Mulsa, bila digunakan pada lahan kering berlereng cukup efektif mengurangi aliran permukaan (Lal, 1976), kadar bahan organik meningkat sehingga menambah kesuburan tanah (Jack et al., 1955).
Pengendalian gulma, hama, dan penyakit
Di lahan kering, pertumbuhan gulma merupakan masalah yang cukup berat, karena bersaing dengan tanaman pangan, dalam hal cahaya, hara, air, dan ruangan. Keberhasilan tanaman pangan tergantung dari keberhasilan pengendalian gulma. Pola tanam sepanjang tahun yang sesuai, dapat secara efektif mengendalikan gulma selain perberantasan cara-cara mekanis dan kimiawi.
Tekanan lingkungan berupa serangan hama dan penyakit tanaman adalah kendala peningkatan produktivitas tanaman pangan. Tikus merupakan hama padi penting yang masih belum tertanggulangi. Di samping itu penggerek batang, lundi, lalat bibit dan walang sangit adalah hama serangga yang umum menyerang tanaman pangan. Di antara penyakit, "blast" adalah penyakit padi yang berbahaya dan dapat menggagalkan panen. Hingga saat ini untuk memperoleh varietas tanaman pangan yang tahan terhadap hama dan penyakit tersebut diatas cukup sulit. Walaupun demikian, dalam keadaan tertentu langkah-langkah agronomis dapat memperkecil risiko kegagalan panen tanaman pangan.

PEMANTAPAN KETAHANAN SWASEMBADA PANGAN
Reformasi adalah koreksi institusional untuk menyesuaikan format, sosok dan penampilan, serta sistem dengan perubahan kondisi yang terjadi di dalam maupun di luar tubuh sistem itu (Adjid, 1998). Tujuan utama usaha pertanian pada saat ini adalah menyedia-kan pangan yang cukup bagi penduduk. Karena keterbatasan lahan, upaya meningkatkan produksi pertanian lebih baik dilakukan melalui peningkatan hasil panen per satuan luas lahan. Dengan demikian pertanian pada abad ke-21, yang lebih bersifat padat energi, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan terhadap lingkungan. Karena kelangsungan hidup manusia bergantung pada peningkatan produksi pertanian dan keberlanjutan lingkungan secara bersamaan, perlu dikaji keseimbangan antara kebutuhan terhadap pengadaan barang dan jasa pertanian yang cukup dengan kebutuhan terhadap mutu lingkungan yang baik (Notohadiprawiro, 2000; James, 1995).
Lahan kering di Indonesia merupakan modal yang besar untuk dapat terlibat dalam pengembangan dan peningkatan produksi pertanian khususnya pangan. Modal dasar tersebut adalah keanekaragaman biologi dan sumberdaya lahan yang besar. Keunggulan komparatif sumberdaya alamnya perlu ditingkatkan pemanfaatannya dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengelolaan yang baik. Lahan kering juga merupakan salah satu sumberdaya yang mempunyai potensi besar untuk pemantapan swasembada pangan maupun untuk pembangun-an pertanian lainnya seperti hortikultura, perkebunan, dan peternakan.

Pemantapan swasembada pangan
Untuk pengembangan pertanian lahan kering, masalah teknis merupakan dasar penyusunan program terpadu dalam kaitannya dengan pengembangan sistem pertanian yang berkesinambungan (sustained agricultural system). Berdasarkan pertimbangan faktor-faktor potensi lahan, kendala fisik lingkungan, keadaan sosial ekonomi penduduk, untuk mendukung pemantapan swasembada pangan dapat ditempuh melalui program jangka pendek, dan jangka panjang.
Pemantapan ketahanan swasembada pangan dalam program jangka pendek adalah upaya-upaya yang terkoordinasi untuk membangun pertanian lahan kering yang produktif dengan memasyarakatkan teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya lahan secara terpadu. Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk memantapkan koordinasi dan sinkronisasi dalam upaya peningkatan produksi pangan di tingkat nasional sampai pedesaan dan sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Salahsatu peluang untuk peningkatan produksi tanaman pangan adalah memanfaatkan sumberdaya iklim terutama curah hujan seoptimal mungkin untuk perencanaan masa tanam dan menghindari risiko kekeringan. Pada lahan kering beriklim basah (curah hujan >2.000 mm/th) berpeluang masa tanam selama di atas 6 bulan (terdapat di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Papua).
Memanfaatkan lahan-lahan kering yang memiliki iklim tipe B dan C, yang tersedia air sekitar 5 atau 6 bulan curah hujan secara berturutturut. Kondisi ini cukup untuk padi gogo yang ditanam sejak awal musim penghujan yaitu pada awal bulan November (Sumatera, Jawa, Kalimantan).
Pengaturan pola tanam yang dianjurkan yaitu pada awal musim hujan ditanami padi gogo yang lebih banyak kebutuhan airnya, kemudian diikuti oleh tanaman palawija yang lebih tahan kering. Pada pelaksanaannya setiap musim tanam dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari (padi gogo + jagung) - kacang-kacangan.
Program jangka panjang merupakan kelanjutan dan perluasan penerapan program jangka pendek secara bertahap serta beberapa upaya lain untuk meningkatkan produksi dalam memantapkan swasembada pangan. Pemantapan ketahanan swasembada pangan jangka panjang adalah upaya-upaya peningkatan produksi pangan disertai penyediaan input sarana dan prasarana peningkatan produksi pangan melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan kering, teknologi, dan kelembagaan.

KEBIJAKAN KELEMBAGAAN
Secara historis, peraturan perundangan tentang kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya tanah dan lingkungan hidup telah diletakkan dan dikembangkan sejak kemerdekaan sampai awal milenium ketiga ini (UUD 1945 pasal 33 ayat 3; UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup). Kebijakan-kebijakan normatif tentang pengelolaan sumberdaya tanah dan lingkungan hidup yang bersumber pada konstitusi, kehendak rakyat dan peraturan perundang-undangan termaktub dalam beberapa butir ketentuan, antara lain:
1.    bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2.    bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, dan
3. pengembang-an kebijakan pengelolaan sumber-daya tanah diarahkan untuk rneningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.
Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang untuk :
a.    mengatur dan menyeleng-garakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c.     menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Jika kita telaah atau uraikan kebijakan normatif yang telah ditetapkan negara dan kenyataan empiris kondisi sumberdaya tanah/ lahan di Indonesia terasa terjadi kesenjangan yang begitu lebar. Tujuan dan sasaran kebijakan tersebut nampaknya masih jauh dari kenyataan. Konsepsi pengelolaan sumberdaya tanah/lahan yang harus dilaksanakan tersebut sepertinya tetap tinggal sebuah retorika dan hanya bersifat simbolis belaka. Dalam implementasinya sumber-daya tanah/lahan pada umumnya diperlakukan sebagai komoditi benda mati yang berdimensi tunggal, dan semata-mata hanya sebagai pemenuh komoditi politik ekonomi. Untuk membangun dan mengembangkan pertanian yang berswasembada secara berkelanjutan, diperlukan implementasi kebijakankebijakan yang dapat memacu produksi pangan, antara lain dengan melakukan investasi perluasan dan perbaikan sumberdaya lahan seperti pengembangan dan pencetakan sawah baru, pembangunan infrastruktur seperti penyu-luhan dan perkreditan, pembangunan sistem inovasi teknologi seperti penelitian dan pengembangan, serta penyebarluasan benih unggul, dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air.

KESIMPULAN.
Tanah-tanah di lahan kering tersedia cukup luas dan berkendala ganda berkenan dengan segala sifatnya, yaitu fisik, kimia dan morfologi. Reformasi pengelolaan lahan kering dapat meningkatkan harkat tanah ini dari tingkat marginal menjadi berproduktivitas memadai secara berkelanjutan. Untuk mewujudkannya diperlukan implementasi kebijakan normatif seperti yang termaktub dalam Undang Undang Dasar dan teknologi serbacakup (comprehensive) yang didukung kebijakan mikro (program jangka pendek) dan kebijakan makro (program jangka panjang).
Reformasi pengelolaan lahan kering guna mendukung pemantapan swasembada pangan di Indonesia dapat diupayakan melalui program jangka pendek dan jangka panjang pada lahan kering berpotensi rendah sampai tinggi (seluas 12,90 juta ha) yang dibarengi dengan penerapan teknologi usahatani konservasi. Dengan teknik perbaikan agronomis diperkirakan dapat memproduksi gabah lebih dari 11,34 juta t/tahun dan kacang-kacangan lebih dari 6,96 juta t/tahun dapat memberikan dampak yang nyata terhadap pemantapan swasembada pangan. Reformasi pengelolaan lahan kering di Indonesia merupakan perbaikan konstitusional dan modal dasar yang besar guna pengembangan dan peningkatan produksi pertanian khususnya pangan. Keunggulan komparatif sumberdaya lahan dapat ditingkatkan pemanfaatannya dengan pengelolaan yang baik menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi budidaya serta implementasi kebijakan yang dapat memacu produksi pangan. Reformasi bagi perumusan kebijakan pengelolaan lahan kering sangat penting, sehingga perlu diletakkan pada konteks multidimensi, dan konsistensi dalam penjabaran kebijakan strategis menuju kebijakan operasional. Secara hirarkis harus ada keterkaitan yang konsisten antara kebijakan makro dan kebijakan mikro yang terwujud dalam substansi kebijakan pemerintah.






DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, A., L.I. Amin, F. Agus, dan Djaenudin. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm 19.
Agus, F., A. Adimihardja, A. Rachman, S.H. Tala’ohu, A. Dariah, B.R. Prawiradiputra,
B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik. Jakarta,

Indonesia. Hlm 592.

1 komentar: